Jakarta
Melihat
Jakarta yang berjuluk “Ratu dari Timur” pada masa kolonial. Jakarta nampak
penuh guratan masa lampau sudah berumur 488 tahun.
Melintasi
sudirman menuju sarinah, melihat Patung selamat datang bundaran HI (hotel
Indonesia) jadi ingat film atau sinetron di televisi yang merupakan ikon
penanda Jakarta.
Sejarah
kota Jakarta bermula dari sebuah Bandar kecil di muara sungai ciliwung. Selama
berjalannya waktu kota ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasional
yang ramai.
Pada
abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk.
Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok,Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah
berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain,
wangi-wangian, kuda, anggur,
dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang
menjadi komoditas dagang saat itu.
Jakarta
berawal bernama sunda kelapa dan Fatahillah merubahnya menjadi jayakarta pada
tahun 1527 pada tanggal 22 juni dan inilah yang di peringati sebagai lahirnya
kota Jakarta yang di benci tapi di rindu.
Pada
abad ke 16 orang-orang Belanda dengan perusahan danganya V.O.C mulai datang dan
mengusai Jayakarta. Awal mulanya Jakarta
atau Batavia . V.O.C memulai membangun Jakarta/Batavia kota pinggir pantai
dengan kondisi daerahnya yang berlumpur dan berawa-rawa. Mereka namakan Batavia
karena daerahnya mirip dengan propinsi Bavaria dan ingin menjauhkan arti nama
Jayakarta dengan sebuah kemenangan Fatahila dan pasukanya melawan Portugis.
Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai "kota kemenangan" atau
"kota kejayaan", namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang
diraih oleh sebuah perbuatan dan usaha".
VOC
mula-mula menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan. Dengan
kepiawaian kompeni lewat intrik dan politik adu domba atau devide impera
terhadap raja-raja di Nusantara. Seluruh wilayah Nusantara dijarahnya. Kolonialisme
kejayaannya pun berlangsung cukup lama menghisap kekayaan alam dan
pengeksploitasi rakyat indonesia.
Jakarta
oh Jakarta menjadi lenggang dan lambat ketika di tinggal mudik rakyatnya yang
kembali bernostalgia ke asalnya di udik sana. Menjadi tak Jakarta karena
Jakarta kalau tak macet tak ada keindahan disana dimana pengamen naik turun
kendaraan umum atau bernayi di samping kendaraan pribadi itulah keindahanya
bisa dapat rezeki untuk beli nasi dan sisanya buat emak naik haji haha.
Penduduk aslinya (betawi) juga semakin tinggal ke pinggiran kota penyangga
Jakarta. Jakarta ibukota pusat ekonomi, pemerintahan dan politik
Jakarta
milik semua siapa pun boleh tinggal disini untuk mencari rezeki. Walau menjadi “Gelandangan”: Langit
sebagai atap rumahku/Dan bumi sebagai lantainya /Hidupku menyusuri jalan/Sisa
orang yang aku makan. Kutipan lagu Rhoma Irama.
Persaingan
mendapatkan pekerjaan formal yang semakin sulit dan berkompetisi. “Jakarta kota
keras, kalah saingan bisa tertindas” kata film warkop. Kompetisi yang
menimbulkan kekerasan. Saling sikut, dorong-dorongan, menyalip ketika ada
kesempatan itulah situasi dan kondisinya.
Jakarta
kota dengan muka yang tegang, penuh dengan tatapan curiga. Serba sibuk dan
jalanan semakin sempit dengan kendaraan bermotor trotoar pun di ambilnya.
Angkutan umum yang nyaman yang belum terwujud. Kaki lima tergusur ketika
menganggu kenyamanan yang lainya. Ruang publik yang masih tak seimbang dengan
kebutuhan warga kota. Supermarket, minimarket, café, restoran cepat saji
sekarang ada dimana-mana dulunya stasiun kereta yang penuh pedagang kaki lima
serta asongan kini nampak café dan minimarket waralaba yang bertumbuh subur
bagai jamur di musim penghujan.
Edwanov Juli 2015.
0 komentar: